![]() |
JAGA DESA: Kolaborasi Kejati NTB bersama Biro Hukum Setda NTB melakukan sosialisasi Program Jaga Desa dan penyuluhan hukum untuk kepala desa di Kabupatan Sumbawa Barat, Kamis (27/2). |
LOMBOK TIMUR, CBM-Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB bersama Biro Hukum
Setda NTB mengadakan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) dan penyuluhan hukum
bagi kepala desa di Kabupaten Sumbawa Barat. Kegiatan ini menitikberatkan pada
pencegahan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana desa melalui program
Jaga Desa.
Kepala Bagian Bantuan Hukum Biro Hukum Setda NTB Yudha
Prawira Dilaga menyebutkan, kegiatan ini melibatkan kepala desa, perangkat
desa, serta unsur dari Pemkab Sumbawa Barat. “Fokus utama kami adalah
memastikan program Jaga Desa dapat mencegah tindak pidana korupsi agar
pengelolaan dana desa lebih akuntabel,” ujarnya.
Plt Asisten Intelijen Kejati NTB Iwan Setiawan menegaskan,
jaksa berperan aktif dalam menjaga desa dari penyimpangan dana desa. “Kejaksaan
hadir untuk desa. Kejagung memiliki program Jaga Desa agar anggaran desa
dikelola dengan baik dan bebas dari penyimpangan,” katanya.
Program Jaga Desa merupakan instruksi langsung dari Jaksa
Agung yang berfokus pada pemberian bantuan hukum, pertimbangan hukum, serta
tindakan hukum lain di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (TUN).
Selain itu, Jaga Desa juga mencakup pengawasan penggunaan
Dana Desa, pemulihan aset, dan dukungan dalam penegakan hukum. “Termasuk
pertukaran data dan informasi,” jelas Iwan yang juga menjabat sebagai Asisten
Pembinaan di Kejati NTB.
Dalam pelaksanaannya, program ini turut mengoptimalkan rumah
restorative justice (RJ) sebagai wadah jaksa dalam menjalankan Jaga Desa. Hal
ini bertujuan untuk menekan pelanggaran hukum sekaligus meningkatkan kesadaran
hukum di masyarakat desa.
Ia menekankan, dana desa harus digunakan untuk pembangunan
infrastruktur, peningkatan ekonomi desa, penguatan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes), pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta ketahanan pangan
berkelanjutan.
“Di NTB, ada prioritas pada Pekarangan Pangan Lestari.
Minimal 20 persen dari dana desa harus dialokasikan untuk sektor ini,”
tambahnya.
Namun, tidak semua kepala desa memahami tata kelola keuangan
dengan baik. Oleh karena itu, ia mengimbau agar pengelolaan dana desa mengikuti
regulasi yang ditetapkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi.
“Korupsi tidak ditentukan dari jumlah nominalnya, tetapi
dari niat jahat dan perbuatan melawan hukumnya (PMH),” tegasnya.
Kasi I Intelijen Kejati NTB Supardin mengingatkan pentingnya
transparansi dalam tata kelola dana desa. “Jangan ragu untuk datang ke kantor
kejaksaan untuk berkonsultasi hukum. Kami terbuka. Sekarang dunia semakin
transparan, informasi mudah tersebar di media sosial,” ujarnya.
Menurutnya, dinamika politik di desa cukup tinggi, terutama
karena kepala desa dipilih langsung oleh masyarakat. Rival dalam Pilkades kerap
mencari-cari kesalahan kades terpilih.
“Baru menjabat satu tahun, sudah diutak-atik. Tapi kalau
anggaran dikelola secara transparan, tidak akan ada masalah,” katanya.
Ia menyoroti tiga modus utama dalam penyimpangan dana desa,
yaitu kegiatan fiktif, laporan fiktif, serta penggunaan anggaran yang tidak
sesuai peruntukan. “Jangan sampai terjadi. Ini tanggung jawab moral kita
bersama,” tegasnya.
Sementara itu, Kasi III Intelijen Kejati NTB Edi Tanto Putra
meminta kepala desa untuk aktif mengisi aplikasi Jaga Desa. “Tolong diisi
aplikasinya, supaya program ini bisa berjalan optimal. Data yang dimasukkan
sangat membantu dalam monitoring pengelolaan dana desa,” ujarnya.
Ia juga menyoroti praktik pungutan liar (pungli) yang
tergolong sebagai tindak pidana korupsi. “Pungli termasuk korupsi dan bisa
terjadi di berbagai sektor, seperti pendidikan, perizinan, hibah, bansos,
hingga pengadaan barang dan jasa,” katanya.
Menurutnya, pungli sering terjadi karena rendahnya
integritas aparatur, lemahnya pengawasan, serta budaya saling menguntungkan.
Hal ini dapat menghambat pembangunan dan meningkatkan kesenjangan sosial.
Di sisi lain, perwakilan Biro Hukum Setda NTB Iwan Nuryadi
menambahkan bahwa selain pengawasan dana desa, pencegahan perkawinan anak juga
menjadi perhatian dalam penegakan hukum di desa.
“Kita perlu memperkuat regulasi dan pengawasan agar
anak-anak tidak terjebak dalam pernikahan usia dini, karena dampaknya sangat
luas,” katanya.
Ia menyebutkan ada tiga faktor utama yang mendorong
perkawinan anak, yaitu kultur sosial budaya, kondisi pendidikan dan ekonomi,
serta ketidaktertiban administrasi.
Dengan sosialisasi ini, diharapkan kepala desa semakin
memahami regulasi dan mampu mengelola dana desa secara transparan demi
kesejahteraan masyarakat.
Posting Komentar untuk "Kolaborasi Biro Hukum dan Kejati NTB Perkuat Kapasitas Pengelolaan Keuangan Desa"